Merah Karbala


Merah Karbala: Keterhempasan Narasi Langit (Serial Artikel Asyura 7)

oleh Muhsin Labib pada 09 Desember 2010 jam 11:08

Artikel di bawah ditulis oleh kawan saya Deddy Prihambudi, aktivis yang sempat menjadi marxis dan kini ingin menjadi alawis.

Sebelum tema-tema keadilan dan hak asasi manusia dibicarakan dalam wacana politik percaturan internasional, para Imam Ahlul Bayt sesungguhnya telah membuat rumusan gamblang ihwal hal tersebut. Tragedi yang menimpa para Imam Ahlul Bayt, khusunya yang menimpa Al Husain bin Ali, dan respons, perspektif, serta perenungan yang luar biasa dahsyat dari putranya, Ali Zainal Abidin, terhadap tragedy itu, hanyalah sekedar manifestasi dari apa yang mestinya disebut dengan iman dan amal shaleh. Tetapi, sepanjang sejarah peradaban dunia, hingga kini, terlebih khusus lagi dalam historica Islam sendiri, tradisi dan ajaran luhur para Imam Ahlul Bayt senantiasa diberangus. Dunia Islam kini, sebagai akibat pengabaian mereka pada prinsip dan praxis kehidupan para Imam Ahlul Bayt, terlampau sulit untuk sekedar lepas dari hegemoni wacana dominant dari pihak Barat.

Peradaban dunia kini, tampaknya teramat sulit untuk sekedar mengenang Sabda Suci Rasul Agung, “Husainun Minni wa Ana min Husain” (Husain adalah bagian dariku dan aku adalah bagian dari Husain).

Jelas disebutkan dalam Sabda Suci Rasul Agung itu ihwal keutamaan Husain putra Ali Ibn Abi Thalib.

Selanjutnya, konon Rasul Agung menegaskan pula bahwa, "Maka Allah akan mencintai orang yang mencintai al-Husain". "Ya Allah! Aku mencintai kedua anak ini, yakni al-Hasan dan al-Husain, dan aku mencintai orang yang mencintai mereka". Al-Husain adalah manusia sorga. Nabi berkata, "Barangsiapa ingin melihat manusia sorga maka lihatlah al-Husain”. Rasul Agung malah menjelaskan di depan khalayak ramai, seperti diriwayatkan oleh Sahabat Khuzaifah Ibn al-Yaman, bahwa " Wahai Hamba-hamba Allah, ini adalah al-Husain Ibn Ali. Kenalilah dia. Demi yang nyawaku berada ditangan-Nya, sesungguhnya kakeknya al-Husain lebih mulia di sisi Allah dibanding kakeknya Yusuf Ibn Ya'kub. lni al-Husain. Kakeknya di sorga. Ibunya di sorga. Saudara laki-laki ayahnya di sorga. Saudara perempuan ayahnya di sorga. Saudara laki-laki ibunya di sorga. Saudara perempuan ibunya di sorga. Saudaranya di sorga. Dan ia sendiri di sorga."

Tentu saja, serangkaian Sabda Suci tadi mestinya meneguhkan pada apa yang pernah disampaikan oleh Rasul Agung itu , dimana, pada suatu hari, ketika Rasul Agung itu keluar dari rumah putrinya, Perempuan Termulia di Persada Alam Raya, ia mendengar suara tangisan al-Husain. Rasul Agung bergegas mampir ke rumah putrinya sembari berkata, "Ketahuilah putriku! Betapa tangisnya membuat aku tersiksa." Oleh karena itu, tatkala ketika Malaikat Jibril mengabarinya bahwa al-Husain akan mengalami nasib tragis, Rasul Agung menangis tersedu-sedu dan berkata, "Ya Allah kutuklah pembunuhnya!".

Ya Benar ! Mustahil bagi manusia untuk mengenal. menghormati, dan memuja kebesaran dan kedudukan mulia Al Husain, tanpa menyempurnakan pengenalan, penghormatan, dan pemujaan itu dengan meneriakkan Sabda Suci tadi dengan lantang : YA ALLAH, KUTUKLAH PEMBUNUHNYA !

Keanehan apa lagi yang ditawarkan oleh manusia, bila mereka berkehendak menghormati cucu Rasul Agung, namun berpura-pura tak pernah mendengar bahwa Rasul Agung itu bahkan mampu mengucap dengan kepedihan : YA ALLAH, KUTUKLAH PARA PEMBUNUHNYA !

Kegenitan macam apa pula, kepura-puraan jasadi apalagi, dan kengeyelan ruhani model apakah, yang mau kita sampaikan kepada Rasul Agung itu, bahwa, ya, benar, kita memang memuja kebesaran putera Maulana Amirul Mu’minin itu, ( namun, sembari rona wajah kita yang ganjil ini kita simpan di balik kemewahan sorban, dan berkata : maaf, kita tidak pernah tahu, bahwa Rasul Agung itu bersabda : YA ALLAH, KUTUKLAH PARA PEMBUNUHNYA ! ).

Sebagian dari kita suka berpura-pura, dan senantiasa bergembira mereproduksi kepura-puraan itu dengan argument yang seolah-olah sahih : ah, mustahil, Rasul Agung Mulia itu, yang tutur katanya lembut itu, yang bahkan tak pernah menunjukkan kemarahannya itu, mampu mengucap : YA ALLAH, KUTUKLAH PARA PEMBUNUHNYA !

Dan segala absurditas ini sungguh hadir benar dalam khazanah kehidupan masyarakat muslim hingga kini. Al Husein, dengan tragedy yang menimpa diri, keluarga, dan sahabatnya, telah mempersembahkan sebuah tolok ukur serba telanjang, dengan cara apakah manusia beriman melihat diri mereka sendiri, dan dengan kesiapan jenis apakah mereka, manusia beriman itu, melihat diri Rasulnya, dan musibah-musibah besar yang terjadi pada Keluarga Sucinya itu.

Apa yang terjadi di Karbala, adalah manifestasi kesinambungan tradisi syahadah dari Keluarga Suci Rasul Agung. Keajaiban muncul di sini, dalam keseluruhan kesinambungan ini. Betapa tidak, baik Rasul Agung sendiri, maupun washinya, yaitu Maulana Amirul Mu’minin, senantiasa menegaskan bahwa prinsip keadilan adalah poros kehidupan makhluk untuk hadir di jagad raya ini. Rasul Agung dengan gamblang menjelaskan semua itu. Beribu-ribu hadist merekam prinsip pokok ini, baik yang diriwayatkan oleh pihak Ahlussunnah maupun Syiah. Dalam kitab Nahjul Balaghah, misalnya, konon terdapat tidak kurang dari 16 point yang disebutkan secara gamblang, yang khusus membahas konsep keadilan social dalam kerangka dasar persatuan, kebebasan berpikir, dan 34 prinsip dasar lainnya berkenaan dengan hak-hak politik dan birokrasi, serta 20 point membahas keadilan ekonomi. Maulana Amirul Mu’minin, bahkan mempersembahkan nyawanya untuk dijadikan bukti : betapa prinsip keadilan yang dipegang teguh oleh beliau, senantiasa mengundang lawan-lawan keadilan untuk melakukan aksinya : kerakusan hidup dan kealpaan nurani.

Sungguh ajaib, bahkan prinsip keadilan ini pula yang keluar dari Mulut Suci Perempuan Agung Sejagad ! Bahkan di hadapan orang yang menyebut dirinya Khalifah pengganti Rasul Agung, Azzahra, Perempuan Agung Sejagad itu, mampu menguraikan prinsip-prinsip hak dan keadilan, dalam teks-teksnya yang murni. Konspirasi criminal musuh-musuh Islam saat itu, yang mau mempertahankan penguasaan illegal mereka atas Tanah Fadak, berhasil dibongkar oleh kefasihan lidah Perempuan Agung Sejagad itu . Keajaiban ini terus berlanjut, dan tetap dalam ritus tradisi genangan darah syahadah para Imam Ahlul Bayt. Maka tidak heran, kalau kemudian kita melihat Al Hasan, putra kandung dari Manusia-Manusia ajaib ini, berkehendak untuk senantiasa menuntut hak atas dirinya, dari pengingkaran prinsip keadilan yang disandang oleh Mu’awiyah, jenis manusia terkutuk yang lahir dari rahim terkutuk pula.

Tragedi Karbala, dan merah darah yang menggenanginya, dengan demikian hanyalah proklamasi akbar risalah tauhid itu sendiri : bahwa perspektif apakah yang mampu dibangun dalam diri pribadi masing-masing manusia beriman , dalam mereka melihat eksistensi Manusia-Manusia Suci pilihan Tuhan itu. Tragedi Karbala adalah manifesto ketelanjangan ruhani manusia, dan refkleksi kritis atas konsep yang terbangun dalam kerangka iman dan amal shalih. Tragedi Karbala, telah mempertunjukan kepada peradaban kemanusiaan, tergolong jenis manusia apakah kita semua ini, dalam ikhtiar kita meng-ada-kan diri.

Sungguh tepat kiranya untuk dikatakan bahwa epos Al Husayn adalah sebuah paparan historis yang teramat konkret ihwal watak, karakter, dan mentalitas murni peradaban manusia. Sembari senantiasa menyanjung nama Manusia-manusia Suci itu dalam bacaan Maulid Diba’ kita, dalam teks-teks Maulid Barzanji kita, sebagian ummat ini sangat mungkin alpa, bahwa Rasul Agung itu, sambil menggendong Al Husayn, pernah dengan tegas mengatakan : "Ya Aba Abdillah [nama panggilan al-Husain] Hal ini sungguh berat bagiku". " Aku menangisi putraku ini karena ia akan dibunuh oleh kelompok Bani Umayyah yang baghi, sesat, dan kafir. Mereka sama sekali tidak akan mendapat syafaatku pada hari kiamat. AI-Husain akan dibunuh oleh seorang yang merusak agama dan kafir kepada Allah".

Masih dalam fragmen kedukaan yang dalam itu, Rasul Agung kemudian berdoa kepada Allah berkenaan dengan al-Hasan dan saudaranya al-Husain, "Ya Allah, aku memohon seperti yang dimohonkan Ibrahim untuk keturunannya. Ya Allah, cintailah mereka berdua, cintailah yang mencintai mereka, dan kutuklah orang-orang yang membenci mereka sebanyak isi langit dan bumi". Jika demikian besamya cinta Rasulullah kepada al-Husain, maka bayangkan betapa hancumya hati Rasulullah menyaksikan umatnya sendiri yang membantai al-Husain, keluarganya, dan sahabat-sahabatnya yang ia cintai dengan sepenuh makna .

Namun, sejarah Keluarga Suci Rasul Agung adalah sejarah perjuangan dan pengorbanan. Sejarah ketertindasan itu sendiri. Apa yang menimpa al Husain, bukanlah yang pertama dan bukan pula yang terakhir yang dipersembahkan Keluarga Suci ini. Apa yang terjadi pada Sayyidah Fathimah Azzahra, pada detik-detik terakhir kehidupannya, kepiluan jiwanya dan keteguhan hatinya untuk tidak sudi menerima kehadiran manusia-manusia criminal - yang telah melukai jasad fisik dan menyayat bathinnya itu - , dalam prosesi pemakamannya kelak. Dan musibah yang menimpa Maulana Amirul Mu’minin. Dan tragedy yang dihadapi oleh Al Hasan. Kesemuanya itu sungguh menggambarkan rekayasa besar dari sebuah konspirasi jahanam yang nyaris abadi, produk segolongan manusia yang memang terlaknat, dan hidup melata di muka bumi.

Penderitaan Para Imam Ahlul Bayt dan para keluarganya, sungguh merupakan catatan documenta historica yang teramat ganjil untuk dipahami : bagaimana mungkin ini semua terjadi ? Ini bahkan belum lagi merupakan catatan yang lengkap : kita tahu, bahwa para pendukung Imamah dan Wilayah para Imam Ahlul Bayt, juga mengalami kepedihan yang sama.

Penderitaan yang dialami para pemuka Bani Hasyim setelah Tragedi Karbala, sungguh terjadi dengan amat memilukan. Kita membaca, misalnya, tentang derita yang menimpa Imam Ali Al Uraidhi bin Ja’far ash Shadiq, dan pula cucu beliau, Imam Ahmad bin Isa Al Muhajjir, dapat pula disebutkan di sini. Demikian pula dengan pengusiran terhadap seluruh anak cucu dan keturunan Bani Hasyim dari Hijaz, Nejd, dan Irak oleh penguasa pada waktu itu, sehingga mereka menyebar ke berbagai belahan dunia , hingga kini.

Kembali kita ke Madinah. Risalah Islam kembali terancam. Ancaman itu datang justru dari orang-orang yang menamakan dirinya sebagai pengikut-pengikut Muhammad saw. Bahkan orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai pemimpin kaum Muslimin! Apa boleh buat. Pada masa itu , kekuasaan Islam justru berada ditangan manusia yang dikenal sangat amoral. Tidak pemah peduli terhadap ajaran agama dan nilai kemanusiaan. Yang menentang diganyang. Yang melawan ditahan. Yang berani mengusik diselidik. Bagi siapa saja yang dianggap dapat mengganggu hegemoni kekuasaan mereka, maka mati adalah hukuman yang justru paling ringan, tampaknya.

Namun, dalam riwayat kelaliman dimanapun, pasti ada tendensi dari segelintir manusia dengan kualitas moral rendah, untuk juga mencoba berdamai dengan kuasa rejim. Manusia jenis ini, yang telah mencampakkan marwah kehormatan diri, tentu akan disambut dengan gempita oleh rejim penindas, bahkan akan dianggap sebagai sekutu. Lebih-lebih lagi bagi mereka yang memiliki turunan gelar ningrat dari kalangan rohaniwan, yaitu golongan manusia yang lebih mendahulukan kenikmatan untuk pergi tetirah, ‘bercengkrama dengan Tuhan’ dalam kekusyukan yang mewah, sembari uzlah, dan ‘menghindari kenyataan hidup’, malahan akan difasilitasi dengan segala macam kebutuhan akomodasi. Inilah watak asli kehidupan masyarakat dalam cengkeraman rejim despotic dimanapun: bahwa akan senantiasa ada segolongan rakyat yang membangkang, mengobarkan api revolusi, dan ada pula yang mencoba membuat draft usulan rekonsiliasi dengan rejim penindas. Bukan tidak mungkin, baik yang berada dalam kubu oposisi maupun mereka yang menikmati persekutuannya dengan rejim penindas itu, pada awalnya justru berasal dari kelas social yang sama. Bahkan mungkin justru saling memiliki hubungan kekerabatan di masa lalunya.

Dalam Tragedi Karbala, misalnya, fragmen segregasi –keterpisahan- ini teramat jelas terekam : kita dapat menelaah, gerangan apakah yang menimpa sebagian dari ummat ini , untuk tetap mencoba bertahan di kota Makkah? Dengan alasan apa pula, sebagian yang lainnya masih saja bercokol di Kota Nabi? Dan , aha ! Siapa-siapa sajakah, dari manusia-manusia jenis ini, yang justru lari, dan mau berlindung di bawah naungan Istana Damaskus ?

Dimanakah sosok dan suara orang-orang ini bersembunyi : para ahli ilmu kalam itu, para pakar ilmu fiqh itu, dan para maestro ilmu tashawuf itu, tatkala MANUSIA LANGIT PILIHAN TUHAN ini, Al Husayn kita, justru berseru kepada mereka dalam keparauan yang menyayat : Wahai, tidak adakah di antara kalian yang mau menyambut seruanku ? Inilah Tragedi peradaban. Sebuah roman Kebangkrutan kebudayaan. Dan Titik nadir kehancuran kesejatian hidup ).

Inilah khas watak rejim despotic dimanapun. Rejim jenis ini mampu mengkombinasikan antara hukuman bagi mereka yang memilih diri bersikap sebagai oposisi, atau anugerah bagi mereka yang mau bergabung dengannya, atau paling tidak, yang tampaknya ‘tidak cukup membahayakan’ bagi kelangsungan hidup rejim. Lihat, misalnya, perintah Muawiyah putra Abi Sufyan, musuh utama Rasul Agung, kepada salah seorang komandan perangnya, Sufyan Ibn Auf al-Amiri, "Bunuh setiap orang yang engkau temui, yang tidak sependapat denganmu. Rusak desa-desa yang engkau lewati. Rampas harta-harta mereka, karena dengan merampas harta-harta itu engkau telah membunuh mereka, dan itu justru lebih menakutkan mereka”. Di lain kesempatan ia menginstruksikan semua gubemurnya, "Siapa saja yang kamu curigai cenderung kepada mereka (maksudnya Keluarga Rasul Agung) bantai mereka dan hancurkan rumah-rumah mereka."

Kekejaman komplit Bani Ummayah ini dimahkotai oleh sosok bernama Yazid Ibn Muawiyah, putra Abu Sufyan. Manusia ganjil ini, yang kelak akan menjadi ikon tunggal dalam tradisi Despotisme Besar Pasca Rasul, adalah seseorang yang tidak mempunyai pekerjaan, dikenal kampiun dalam ritual mabuk, dan masuk dalam kategori Kolektor Agung dalam hal perempuan. Dia juga Pemain Utama dalam opera canda bersama para kera dan anjing-anjing. Yazid adalah prototype teladan bagi seseorang yang dengan mudah mau menumpahkan darah anak manusia yang tidak bersalah. Cukup bagi kita untuk menunjukkan betapa ganjilnya manusia anak Muawiyah ini, - selain pembantaiannya terhadap Keluarga Rasul Agung -, adalah penghancurannya atas Ka 'bah dan, deklarasi kehalalan kota Madinah untuk dijarah atas perintahnya. Sejarah mencatat dengan jelas bahwa Yazid memberikan kebebasan kepada tentaranya untuk melakukan apa saja di kota Rasul Agung itu selama 3 (tiga) tiga hari penuh, tanpa henti. Mereka membunuh tidak kurang dari seribu Tabiin, tujuh ratus Muhajirin dan Anshor, serta menggagahi ratusan perawan Muslimah.

Ya, benar ! Yazid adalah Mahkota Bani Ummayah itu sendiri !

Kita mengetahui dalam berbagai riwayat, masih seputar Tragedi Karbala, bahwa konon ada seseorang, yang di kelak kemudian hari bahkan menjadi maestro par excellence dalam tradisi sufi, dan pengamal zuhud Islam garda depan, serta jenis manusia kaliber anggun dalam munajat-munajat kepada sang Khaliq, ternyata sudi melakukan bai’at dengan penuh kehinaan kepada Yazid. Bahkan Yazid merasa tidak perlu memberikan kepada manusia arif itu, tangannya, untuk menerima baiat. Luar biasa, Yazid hanya merasa cukup dengan menyodorkan kakinya saja. Apa arti semua ini ? Tasawuf jenis apakah yang ditampilkannya ? Sufikah tokoh kita ini ? ‘Arifkah manusia jenis ini? Dapatkah dia, sang maestro itu, kita jadikan teladan dalam bermunajat, dan menata hati ? Bagaimana mungkin ini semua terjadi, bahkan hanya berselang 60 tahun semenjak Rasul Agung menjemput syahadahnya?

Tentu, putra Asadullah Al Ghalib, Ali bin Abi Thalib, cucu Rasul Agung ini, tidak akan pemah mengkhianati amanat para leluhurnya supaya terus berkorban demi Islam. ltulah yang dilakukan al-Husain. Maka, tatkala Gubemur Madinah memaksanya berbaiat kepada Yazid, Al Husain dengan berani membongkar kedok Yazid. Al Husein berkata kepada Gubernur Kota Nabi itu, bahwa "Yazid adalah seorang yang bejat, peminum khamar, pembunuh nyawa yang tidak bersalah, dan pembuat maksiat yang terang-terangan. Orang seperti Aku tidak boleh membaiat orang seperti Yazid".

Di lain kesempatan Al Husain bahkan berkata, "Wahai orang-orang! Mereka adalah pengikut-pengikut setan, penentang Tuhan, pelaku perusakan di muka bumi, penghapus ajaran agama, perampas harta kaum Muslimin, dan penghalal sesuatu yang diharamkan Allah. Aku adalah orang yang paling menentang mereka." Dan dalam khotbah lain Al Husein menegaskan, " Wahai orang-orang! Barangsiapa melihat pemimpin yang zalim, menghalalkan segala yang diharamkan Allah, mengingkari perjanjian dengan Allah, menentang ajaran Rasulullah, memerintah dengan bejat dan zalim, tapi tidak ada yang menggugatnya dengan Iisan atau perbuatan, sungguh murka Allah akan menimpanya, dan adalah hak-Nya memasukkannya ke neraka bersama pemimpin itu."

(Ditulis oleh deddy Prihambudi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kota Malang bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan, dan Pemuda pada 1991-1993, Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Badan Koordinasi (Badko) Jawa Timur bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan, dan Pemuda pada 1993-1995, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, periode 2000-2003, dan 2003-2006).

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Komentar Anda

 
Login by Admin