Filsafat Puasa


Filsafat Puasa


Oleh: Emi Nur Hayati Ma’sum Sa’id

Demikian juga dengan puasa Allah mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya agar mereka menjadi orang-orang yang bertakwa. “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan juga kepada orang-orang sebelum kalian supaya kalian bertakwa”.[5] Dalam khotbahnya Imam Ali juga disebutkan bahwa Allah swt mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya untuk salat, zakat dan puasa dengan tujuan agar anggota badan manusia menjadi tenang, pandangannya menjadi tunduk, jiwanya menjadi lembut, dan rendah hati serta hilanglah kesombongan darinya. Dengan sujud manusia meletakkan bagian wajahnya yang paling bagus ke tanah.

---------------------------------------------------------

Manusia adalah makhluk yang dimuliakan Allah swt. Allah menetapkan hukum-hukum-Nya demi kemaslahatan manusia. Apabila qisas ditetapkan tujuannya adalah untuk menjaga jiwa manusia. Sebagaimana firman Allah swt yang berbunyi “Dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan untuk kalian wahai orang-orang yang berakal supaya kalian bertakwa”.[1] Karena hidup-mati seorang manusia berarti hidup-matinya semua manusia. Artinya jika seseorang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain, maka sama dengan ia membunuh semua manusia. Jika ia menghidupkan seorang manusia maka sama dengan ia menghidupkan seluruh manusia. “Barang siapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya, dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seakan-akan ia memelihara kehidupan manusia seluruhnya”.[2] Dengan penjelasan ini, bila seseorang membunuh seorang manusia yang tak berdosa maka ia memiliki kesiapan untuk membunuh manusia lainnya dengan motivasi tersebut, karena baginya tidak penting siapa yang dibunuh, baginya orang yang berdosa dengan orang yang tak berdosa tidak ada bedanya. Sebaliknya bila seseorang menyelamatkan kehidupan seorang manusia karena cinta kemanusiaan maka dengan motivasi tersebut, ia juga lebih siap untuk menyelamatkan manusia lainnya, karena baginya tidak penting siapa manusia itu, bahkan jika mampu ia akan menyelamatkan semua manusia.[3] Oleh karenanya, Allah mewajibkan qisas bagi orang yang menciderai jiwa atau anggota badan sesamanya.

Kalau Allah melarang jangan mengunjing! Tujuannya adalah untuk menjaga harga diri dan kehormatan sudara-saudara seiman kalian, “Janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain, apakah sebagian kalian suka memakan daging bangkai saudaranya sendiri? [4] Untuk menjaga akal, agama mengharamkan khamer dan judi. Untuk menjaga agama Allah mewajibkan jihad.

Demikian juga dengan puasa Allah mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya agar mereka menjadi orang-orang yang bertakwa. “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan juga kepada orang-orang sebelum kalian supaya kalian bertakwa”.[5] Dalam khotbahnya Imam Ali juga disebutkan bahwa Allah swt mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya untuk salat, zakat dan puasa dengan tujuan agar anggota badan manusia menjadi tenang, pandangannya menjadi tunduk, jiwanya menjadi lembut, dan rendah hati serta hilanglah kesombongan darinya. Dengan sujud manusia meletakkan bagian wajahnya yang paling bagus ke tanah. Ini adalah pertanda seseorang menyatakan ketidakberartian dirinya. Lengketnya perut dengan punggung karena puasa menunjukkan kerendahan hati. Membayar zakat agar penghasilan bumi bisa dipergunakan oleh para mustad’afin. Lihatlah bagaimana pengaruh ibadah bisa menumbangkan kesombongan dan mencegah keegoisan serta keangkuhan.[6]

Dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan, alangkah baiknya kalau kita melihat kembali khotbah Rasulullah saww yang beliau sampaikan ketika mau menyambut bulan suci Ramadhan yang disebut dengan Khotbah Sya’baniyah.

“Sesungguhnya telah menyambut kalian bulan yang penuh barakah, rahmat dan ampunan yaitu sebaik-baik bulan di sisi Allah. Siangnya adalah sebaik-baik siang. Malamnya adalah sebaik-baik malam. Waktunya adalah sebaik-baik waktu. Bulan yang mengundang kalian untuk menjadi tamu Allah dan manjadi tamu kehormatan-Nya. Nafas kalian adalah bertasbih, tidur kalian adalah ibadah. Amalan kalian dikabulkan. Doa kalian di ijabahi. Berdoalah dengan niat yang baik, dengan hati yang suci dari dosa dan sifat buruk, agar Allah memberikan taufik-Nya kepada kalian dalam menjalankan ibadah puasa dan membaca al-Quran di bulan tersebut. Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan ini. Ingatlah kelaparan dan kehausan kalian di hari kiamat dengan kehausan dan kelaparan di bulan ini. Bersedekahlah kepada para fakir miskin. Hormatilah para sesepuh kalian. Sayangilah anak-anak kalian. Kasihanilah keluarga kalian. Jagalah mulut kalian dari sesuatu yang tidak boleh dibicarakan. Jagalah mata kalian dari hal-hal yang tidak boleh dipandang. Jagalah telinga kalian dari hal-hal yang haram untuk didengar. Sayangilah anak-anak yatim agar anak-anak yatim kalian disayangi setelah kalian. Bertaubatlah kepada Allah dan berdoalah ketika qunut salat, karena waktu salat adalah sebaik-baik waktu. Di bulan ini Allah senantiasa melihat hamba-hamba-Nya dengan penuh kasih sayang dan menjawab setiap permohonan ampun dan doa. Ringankan beban dosa kalian dengan melamakan sujud. Barang siapa yang memberikan buka puasa kepada orang yang berpuasa, sama dengan ia memerdekakan budak dan mendapat ampunan dosa-dosa yang lalu meskipun hanya setengah dari buah kurma”.

Imam Ali a.s. meriwayatkan hadis dari Rasulullah saww tentang tujuh sifat yang diberikan oleh Allah kepada orang mukmin yang berpuasa di bulan Ramadhan:

1. Akan mencair segala yang haram dari badannya.
2. Ia akan mendekat kepada rahmat Allah swt.
3. Dengan puasanya, kesalahan Nabi Adam a.s. terampuni.
4. Allah memudahkan baginya saat menghadapi sakaratulmaut.
5. Ia akan terjamin dari rasa lapar dan haus di hari kiamat.
6. Allah akan memberikan kepadanya makanan surga yang lezat.
7. Allah akan membebaskannya dari api neraka.[7]

Ketika Imam Ridha a.s. ditanya tentang filsafat puasa, beliau menjawab, “Supaya mereka merasakan sakitnya lapar dan haus. Sehingga saat itu mereka bisa berargumentasi tentang kelaparan dan kehausan serta kefakiran di akhirat (sebagaimana yang dikatakan Rasulullah dalah khotbah Sya’baniyahnya, “Ingatlah kelaparan dan kehausan kalian di hari kiamat dengan kehausan dan kelaparan di bulan ini”. Dengan mengingat kelaparan dan kehausan akhirat, manusia akan serius menyiapkan dirinya menghadapi hari kiamat). Kemudian Imam Ridha a.s. mengatakan:

1. Pelaku puasa hendaknya khusyu dan tunduk di hadapan Allah.
2. Ketahuilah bahwa amalannya mendapatkan balasan.
3. Dirinya dan amalannya akan diperhitungkan.
4. Hendaknya mengetahui segala apa yang dikerjakannya.
5. Hendaknya sabar menghadapi lapar dan haus.
6. Dengan menjauhi kemauan syahwat ia pasti mendapatkan pahala.

Sifat-sifat tersebut (enam sifat) adalah penasihat yang baik bagi para pelaku puasa di dunia. Sebagai pendorong mereka untuk menjalankan segala apa yang diwajibkan bagi mereka dan penunjuk jalan bagi mereka di akhirat kelak. Dengan puasa mereka akan tahu betapa susah dan sulitnya para fakir miskin, sehingga mereka mau menginfakkan hartanya kepada mereka.[8]

Mudah-mudahan tulisan ini bisa membantu kita untuk menyiapkan diri sebagai tamu Allah yang baik dan mendapatkan “malam kadar” di mana malam itu adalah sebaik-baiknya malam dari seribu bulan. Karena dalam menjalankan ibadah puasa bulan Ramadhan selain kita harus menjaga ketentuan-ketentuan fikih praktis kita juga harus menjaga batin amalan kita. Mudah-mudahan puasa kita bukan hanya sekedar menahan lapar dan haus, akan tetapi puasa dari makan dan minum serta puasa dari dosa (puasa, tidak makan dan minum serta menjaga anggota badan dan hati, dari dosa-dosa yang dilarang Allah swt).[]


Penulis: Mahasiswi S2 Jurusan Tarbiyah Islamiyah & Akhlak di Jamiah Azzahra, Qom-Republik Islam Iran

________________________________________
[1] . QS, Al-Baqarah: 179.
[2] . QS, Al-Maidah: 32.
[3] . Manshur Jawid Quran, jilid 4, hal 268-269.
[4] . QS, Hujurat: 12.
[5] . QS, Al-Baqarah: 183.
[6] . Lihat. Nahjul Balaghah, Khotbah 192.
[7] . Syekh Saduq, Al-Khisal, Tahqiq Ali Akbar Alghiffariy, Jame-e Mudarrisin Hauzah Ilmiyah, hal 346.
[8] . Al-Hur Al-Amili, Wasail As-Syiah, Tahqiq Syeh Abdur-Rahim Rabbani Syirazi, Daru Ihya At-Turats, Beirut, jilid 7 hal 4

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Komentar Anda

 
Login by Admin